*****WELCOME TO MY BLOG******

Selasa, 23 November 2010

Strategi Menghadapi Persaingan Global

Skenarionya bisnis kita sudah lama eksis. Kemudian tiba-tiba banyak pesaing asing masuk merebut kue tar atau bisnis kita yang semula di Indonesia hendak menjamah luar Indonesia sebagai wujud kesempatan bersaing global. Berdasarkan scenario demikian adalah tentu perubahan strategi diperlukan. Hal itu juga yang mungkin terlupakan oleh Agnes Monica sehungga keberhasilan go public nya tertunda …emmh so tahu kenal dengan Agnes pun tidak. Terdapat enam strategi untuk menghadapi persaingan global. Pertama strategi pertumb uhan yang cepat atau pengurangan. Penambahan atau pengurangan jumlah karyawan maupun unit bisnis sambil mempertahankan bauran produk dan jangkauan pasar. Tindakan yang demikian itu akan mengubah ukuran perusahaan daripada ruang lingkupnya. Strategi kedua, yaitu, perubahan bauran produk. Bauran produk yang dirubah senantiasa berdampak pada operasi perusahaan juga strategi pemasaran dan strategi penjualan dimana penambahan produk dapat dil;akukan seperti dengan akuisisi. Strategi ketiga, ialah perubahan jangkauan pasar. Fokus pasar dirubah pada bauran produk yang sama sehinmgga menjamah pasar internasional atau jangkauan geografis meluas dan menemukan konsumen sasaran yang baru. Strategi keempat tidak lain repositioning. Repositioning bertujuan mengubah persepsi konsumen dan atau calon konsumen akan perusahaan. Strategi yang kelima adalah diversifikasi. Diversifikasi dalam kenyataannya mencakup juga penambahan produk dan perluasan pasar yang berhubungan dengan bisnis inti maupun bukan bisnis inti. Dan yang terakhir tidak lain strategi partnering. Kerjasama antara dua atau lebih perusahaan independent untuk menciptakan suatu keunggulan bersaing. Tentu, strategi demi strategi telah dikemukakan dalam keberadaannya berperilaku sebagai alternatif. Of course, beautiful is relative


SOSOK PRESIDEN 2014


PEMILIHAN Presiden 2014 akan menjadi pertarungan sejumlah wajah baru. Meski masih dimungkinkan terjadi “daur ulang” calon presiden (capres), peluangnya jauh lebih kecil dibanding Pilpres 2009. Selain karena tokoh yang menjadi “langganan” capres sudah kehilangan momentum, juga karena tumbuhnya harapan bagi kader yang matang selama transisi menuju reformasi.
Bagaimana partai mere-spons kecenderungan bangkitnya capres muda? Sebagian jawaban terbaca dari cara parpol melakukan kaderisasi kepemimpinan di tubuh partai, selain makin solidnya lembaga prodemokrasi di luar parpol.Pada 2014 tuntutan munculnya capres muda akan lebih nyaring. Soekarno dan Soeharto dilantik sebagai presiden dalam usia muda dan terbukti melahirkan perubahan fenomenal pada masanya. Sayang tradisi capres muda tidak berlanjut. Banyak kandidat yang masih belia sudah layu sebelum penjaringan capres dilakukan parpol.
Andai saja ketentuan konstitusi yang menetapkan kebijakan satu pintu bagi capres (yakni harus diusung parpol atau gabungan parpol), munculnya capres di luar parpol masih amat berpeluang. Selain mengusung kadernya sendiri akan terdapat parpol yang “mengadopsi” tokoh organisasi kemasyarakatan (ormas), purnawirawan, bahkan kalangan intelektual dan birokrat. Sayangnya, dalam pemilu terakhir, kalangan kampus dan birokrat karier belum menyumbang calondalam pilpres. Ini terjadi karena politik belum menjadi zona yang menantang bagi sebagian besar intelektual.
Selain didorong motif politik para purnawirawan, kemunculan para bintang dalam bursa capres juga akibat tarikan kepentingan parpol. Banyak parpol terkesan masih rendah diri, hingga dalam kepengurusan harian dan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) pun masih menyelipkan beberapa bintang. Sentimen sipil versus militer tidak sekuat Islam-non Islam, atau Jawa-luar Jawa.Kemunculan birokrat karier dalam pilpres belum memiliki preseden. Birokrat karier baru sebatas meramaikan pemilukada. Ini terjadi karena tidak banyak birokrat karier yang memiliki rentang pengaruh yang melintasi wilayah kewenangannya (baik otoritas maupun geografis).
Majunya capres berlatar belakang ormas atau purnawirawan yang diadopsi dan diusung parpol atau gabungan parpol masih amat berpeluang terjadi karena beberapa sebab. Kesatu, daya tarik ormas dan kematangan capres yang berlatar belakang purnawirawan. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama adalah dua ormas yang memiliki basis dukungan riil yang kuat. Meski dalam Pilpres 2009 kedua ormas ini tidak memajukan kadernya, libido politik para tokoh yang menggerakkan kedua ormas ini belum sirna. Begitu pula purnawirawan, meski TNI dan Polri sudah kembali ke “khittah”(sebagai alat pertahanan dan keamanan negara, dan tidak bermain politik), kehadiran purnawirawan
TNI dan Polri masih memiliki daya tawar di hadapan petinggi parpol terkait pengalaman penugasan dalam skala nasional. Kedua, belum lancarnya sirkulasi elite di tubuh parpol. Kaderisasi mengalami kemacetan di banyak partai. Ini terjadi karena masih kuatnya kecenderungan sentralisasi kekuasaan di tangan tokoh yang dinisbatkan sebagai ikon dan roh parpol.Banyak parpol yang menjadikan kongres sebatas ajang untuk mengukuhkan kembali kepemimpinan sang tokoh. Gejala minimnya kader tampak pula dari kecenderungan daur ulang kandidat kepala daerah, atau tenaga alih daya(oursourring) dengan mengusung artis, yang tidak memiliki hubungan kepartaian dengan parpol pengusungnya. Padahal, daur ulang dan tenaga alih daya adalah tindakan penyelamatan yang mempercepat pembusukan potensi parpol dari dalam.
Kaderisasi parpol
Bagi sebagian partai di Indonesia, kerap terjadi kongres berlalu tanpa menorehkan tonggak modernisasi secara berarti. Lebih banyak partai menempuh “politik poco-poco”, memaju-mundurkan kader baru untuk mengesankan dinamika internal partai sambil “melestarikan” tokoh utama yang dinisbatkan sebagai ikon partai. Pergeseran posisi dalam kepengurusan partai memang terjadi, tetapi sejatinya tidak mengubah garis dan posisi partai.
Agenda perubahan yang digagas peserta kongres gagal menyentuh bauran utamapendorong perubahan. Bahkan jauh sebelum kongres digelar, kesepakatan untuk tidak mengotak-atik posisi jabatan tertinggi, entah bernama ketua umum, dewan pembina, atau sebutan lain yang dilekatkan kepada jabatan yang diduduki tokoh utama, sudah disosialisasikan kepada seluruh jajaran dan jenjang pimpinan partai.
Hasilnya sudah bisa ditebak, kongres hanya melahirkan perubahan prag-mentaris. Wajah baru memang muncul, tetapi sekadar kepanjangan tangan figur utama yang menghidupi partai. Tambal sulam di sana sini terjadi, tetapi tidak akan melahirkan perubahan menyeluruh karena desain perubahan tunduk pada dua pakem berikut.
Kesatu, restu tokoh utama partai dipandang sebagai konstitusi yang mengatur laku politik seluruh jajaran partai. Bila pemilihan bergantung kepada restu, perubahan akanberjalan di sepanjang kehendak dan kepentingan sang tokoh. Para peserta kongres dan pimpinan partai sibuk menyiasati aturan demi meloloskan agenda perubahan, tetapi hati dan pikiran mereka menanti turunnya restu sang tokoh. Demokratisasi internal dan modernisasi tidak akan tumbuh di dalam rubuh partai yang dibesarkan dengan restu seorang tokoh.
Kedua, kepentingan menjaga kohesivitas pikiran kelompok (group think) yang menopang zona nyaman para pemangku kepentingan membatasi lahirnya kader kritis. Gagasan kritis dan suara berbeda dari arus utama kepentingan yang menguasai mind set peserta kongres akan segera dinafikan dan dicap sebagai ide menyimpang sebelum diuji secara saksama.
Kongres kerap gagal mengadopsi pikiran yang berbeda tentang cara menjayakan partai. Alih-alih menghimpun semua kekuatan dan elemen partai, kongres kerap tergelincir ke dalam blok kepentingan. Bila ini terjadi, kongres hanya menjadi lakmus pembeda kader yang disukai dari kekuatan yang harus disingkirkan. Kebesaran partai tidak akan tumbuh di atas iklim dan suasana internal partai yang terpolarisasi antara “kami” yang benar dan “mereka” yang salah.
Di luar logika para petinggi yang terpenjara kepentingan berebut posisi di dalam kepemimpinan partai, terdapat dua kecenderungan yang menentukan nasib Indonesia ke depan. Kesatu, makin dominannya peran partai politik . dalam mekanisme sistem poli-tik Indonesia. Hampir tidak ada urusan publik yang benar-benar lepas dari campur tangan kader dan kepentingan partai. Sayangnya, kemenon-jolan peran partai belum disertai kompetensi (keandalan, pengalaman, dan kearifan) para kadernya. Banyak urusan ditangani oleh orang yang bukan ahlinya, namun seakan tidak ada opsi lain karena sistem menempatkan parpol sebagai mesin seleksi jabatan publik.
Kedua, harapan dan kekecewaan publik akan menentukan posisi partai, nasib demokrasi dan masa depan wajah politik itu sendiri. Publik terus dibakar janji, dibuai harapan, dan dimanja mimpi, namun segera dicampakkan setelah pemilu berakhir. Melambungnya harapan akan mempercepat datangnya kekecewaan bila pimpinan terpilih gagal mengonversi dukungan menjadi instrumen kebijakan yang definitif. Kekecewaan, bahkan sinisme, akan datang lebih pagi bila kehadiran sang pemimpin tidak mengubah apa pun yang terjadi.
Seakan sudah menjadi aksioma bahwa partai politik yang secara kelembagaan kuat adalah kondisi yang perlu bagi konsolidasi demokrasi dan mempertahankan vitalitasnya. Namun, pengalaman menunjukkan, pemerintahan yang hanya digerakkan oleh partai politik yang kuat akan mudah terjerembap ke dalam kubangan otoritarianisme dan dinasti politik.
Membangun sistem politik demokratis yang sehat tidak hanya bertumpu pada kelembagaan partai politik yang ku-at. Di luar kelembagaan partai politik, sistem politik demokratis membutuhkan budaya politik yang mendorong tumbuhnya komitmen terhadap demokrasi, mencegah tampilnya pemimpin yang melemahkan performa sistem politik, dan mampu menekan sinisme publik dengan kebijakan distinktif. Kebutuhan ini hanya mungkin dipenuhi oleh sosok pemimpin yang bisa menghidupi partai dengan pikiran, sikap, dan tindakannya, bukan pemimpin yang mencari hidup dari partai.
Bila sentralisasi kekuasaan di tubuh partai tidak dikurangi dan politik restu terus menghidupi aktivitas parpol, maka kecenderungan munculnya pemimpin nasional tanpa melewati seleksi internal partai masih akan terjadi. Kecenderungan ini membuka tampilnya tokoh yang matang di luar parpol, lalu “dicomot” sebagai capres parpol tertentu.
Saatnya parpol benar-benar menjalankan fungsi kaderisasi dan seleksi kepemimpinan. Tampilnya kandidat dari luar dihargai sama dengan kader yang muncul dari dalam. Kata kuncinya adalah konvensi capres internal partai. Mahal memang dan tak menjamin kemenangan, namun konvensi capres internal parpol (di banyak negara) terbukti menguatkan sendi keorgan-isasian parpol yang mulai keropos. (H. Karim Suryadi, peneliti komunikasi politik dan guru besar Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas Pendidikan Indonesia.
bagi saya sendiri siapa saja yang terpilih menjadi presiden 2014, harus mempunyai sikap yang otoriter, disiplin yang tinggi ,dan jiwa kebijaksanaan . dan tentu tidak kita jangan lupa jangan cari pemimpin yang hanya berniat jadi pemimpin nengara hanya untuk memperkaya diri mereka masing-masing, seperti yang sudah-sudah. lalu berantas yang namanya korupsi.
berikut ini beberapa calon presiden 2014
01. Aboerizal Bakrie (Golongan Karya)
02. Adnan Buyung Nasution
03. Agung Laksono (Golongan Karya)
04. Akbar Tanjung (Golongan Karya)
05. Alwi Shihab (Partai Kebangkitan Bangsa)
06. Amien Rais (Partai Amanat Nasional)
07. Andi Mattalata (Golongan Karya)
08. Arbi Sanit
09. Boediono
10. Da’i Bachtiar
11. Din Syamsudin
12. Djoko Santoso
13. Djoko Suyanto (non partai politik)
14. Fahmi Idris
15. Hassan Wirajuda
16. Hasyim Muzadi
17. Hidayat Nur Wahid (Partai Keadilan Sejahtera)
18. Jenni Wahid (Partai Kebangkitan Bangsa)
19. Jero Wacik (Partai Demokrat)
20. Juwono Sudarsono


Positif Dan Negatif dari pola konsumtif


Kata “ konsumtif “ ( sebagai kata sifat, lihat akhiran if ) sering diartikan sama dengan “ konsumerisme “.Padahal kata yang terakhir ini mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan konsumen.Sedangkan konsumtif lebih khusus menjelaskan keinginan untuk mengkonsumsi barang- barang yang kurang diperlukan secara berlebihan untuk mencapai kepuasan yang maksimal.

Dalam era globalisasi ini dan di tengah kondisi insibilitas ekonomi yang mengakibatkan terus melonjaknya harga komoditas bahan pokok saat ini,pengendalian diri sangatlah penting.Sedini mungkin hendaknya menghindari pola hidup konsumtif.Kebiasaan konsumtif ini biasanya didasari oleh faktor gengsi “ Banyak orang merasa tidak puas,iri, ingin mendapat sesuatu dengan cara yang mudah “.
Dalam hal ini Misalnya Arisan Yang Berubah Karena Pola Hidup Konsumtif Dan Kesemuan Gotong Royong Apa Dampak Positif Dan Negatif Globalisasi Bagi Masyarakat Apakah Sajakah Dampak Positif
PERILAKU MASARAKAT DALAM PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA Diingat Bahwa Perubahan Sosial Dan Budaya Membawa Dampak Positif Dan Negatif Pola Hidup Konsumtif Pola Hidup Konsumtif Makin Berkembang Dan Marak Karena
Dampak Negatif Penggunaan Teknologi Informasi Dan Kom Creating Dampak Negatif Dan Positif Penggunaan Internet Internet Adalah Jaringan Yang Berubah Dapat Mengakibatkan Perubahan Pola Positif Internet Adalah Sebagai Hiburan Di Hidup Kita
DAMPAK TEKNOLOGI TERHADAP KEHIDUPAN MANUSIA Kaltara Bloggers Itu Pada Makalah Ini Kami Membuat Dampakdampak Positif Dan Negatif Yang Secara Moral Mengalami Kemerosotan Konsumtif Boros Dan Pola Interaksi Antar Manusia Yang Berubah
Love Indonesian Culture Akibat Modernisasi Dan Globalisasi Suatu Kemajuan Akan Menghasilkan Dampak Positif Dan Negatif Hal Ini Harus Pergaulan Hedonis Memuja Kemewahan Pola Hidup Konsumtif Sudah Menjadi Pola Pergaulan Dan Gaya Hidup
Gaya Hidup Bebas Remaja Seks Rokok Konsumerisme Nusantaraku Nilai Positif Sekaligus Negatif Sangat Tergantung Pada Pola Pikir Dan Landasan Hidup Dampak Negatif Ini Anak Dan Remaja Saat Ini Seperti Kenakalan Remaja Pola Hidup Konsumtif
Globalisasi Konsumerisme Dan Gereja Kita Dan Tidak Akan Mampu Memberikan Dampak Positif Sisi Positif Dari Pergeseran Budaya Dan Mengurangi Efek Negatif Yang Membentuk Pola Hidup Glamorous Dan Konsumtif




AKU 2 TAHUN YANG AKAN DATANG


Saat ini saya adalah seorang mahasiswa Universitas Gunadarma, saya akan berusaha sekuat tenaga untuk meperoleh hasil yang baik, dalam nilai dan juga kemampuan saya di bidang computer. Saya akan terus mengasah kemampuan dan menimbah ilmu.
Dan saya mentargetkan dua tahun nanti saya menjadi sarjana yang memiliki kemampuan dibidang pemrogramaman. Setelah saya lulus dari perguruan Gunadarma ini. Saya akan melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan yang berhubungan dengan kemampuan saya.
Jika diterima saya akan berusaha semampu saya untuk memajukan perusahaan tempat saya bekerja,selain untuk memenuhhi kebutuhan saya sehari-hari juga untuk menambah pengalaman disinilah saya akan memulai karir saya.
Hal yang paling saya inginkan 2 tahun yang akan datang adalah saya bisa memiliki pekerjaan yang baik,dan hasil dari pekerjaan saya akan saya tabung untuk membuka usaha sendiri,membahagikan kedua orang tua saya memilikli pasangan hidup yang setia dan menjalankan hidup dengan baik sesuai keinginan saya.
Itulah hal yang saya inginkan 2 tahun yang akan dating semoga keinginan saya ini bisa terwujudkan.


Jumat, 12 November 2010

DEMO MAHASISWA MENOLAK SBY KE MAKASAR

Demo menolak kedatangan SBY di Makassar berbuntut saling lempar batu antara mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan Universitas 45 Makassar versus polisi. Mahasiswa merusak mobil polisi yang diparkir tidak jauh dari kedua kampus. Saat perang batu terjadi  beberapa mahasiswa langsung mengarah ke mobil ford Ranger double cabin milik polisi yang di parkir dekat kampus di Jl Urip Sumohardjo. Kaca mobil dirusak dan di lempar batu.
Selain mobil polisi, sejumlah mobil pengendara yang terjebak di lokasi bentrok, juga rusak akibat terkena lemparan batu. Ada yang kacanya pecah, adapula yang bodinya lecet terkena lemparan.
            Saat ini, tawuran mulai mereda. Polisi memilih mundur, agar bentrok tidak berkepanjangan. Namun mereka masih bertahan di perempatan flover Jl Andi Pettarani dan Jl Urip Sumohardjo. Bentrokan berawal dari unjuk rasa puluhan mahasiswa UMI. Mereka menolak kedatangan SBY di Makassar. Mahasiswa demo dengan membakar ban dan menutup jalan depan kampusnya. Saat demo hendak dibubarkan oleh polisi dari Polrestabes Makassar, mahasiswa melawan. Mereka lalu melempari polisi dengan batu. Karena jumlah polisi yang sedikit, mereka dipukul mundur oleh mahasiswa yang jumlahnya ratusan. Saat mundur dan melewati depan kampus Universitas 45, yang berdekatan dengan kampus UMI, polisi lagi-lagi dihujani batu. Puluhan polisi melawan dengan ikut melempar batu. Berselang beberapa menit, polisi menembakkan berkali-kali peluru karet. 4 motor pemburu polisi juga beraksi untuk mendesak mahasiswa masuk kampus. 'Perang' mahasiswa dan polisi berlangsung kurang lebih 30 menit.

Melihat kejadian diatas, sungguh sangat disayangkan. Demonstrasi adalah tindakan untuk menyampaikan penolakan, kritik, ketidakberpihakan, mengajari hal-hal yang dianggap sebuah penyimpangan. Maka dalam hal ini, sebenarnya secara bahasa demonstrasi tidak sesempit, melakukan long-march, berteriak-teriak, membakar ban, aksi teatrikal, merusak pagar, atau tindakan-tindakan yang selama ini melekat pada kata demonstrasi. Seharusnya demonstrasi juga “mendemonstrasikan” apa yang seharusnya dilak kesadaraan akan konteks perjuangan menjadi penting. Ini bukan saatnya mahasiswa dan masyarakat “meruntuhkan tembok”, tapi mengisi ruang kosong yang merupakan sisa-sisa keruntuhan tembok kelaliman. Mengisi ruang publik adalah area perjuangan yang lebih relevan. Menjadi pejabat publik yang amanah, menjadi legislator yang memperjuangkan kepentingan rakyat, menjadi pengusaha yang membuka lapangan kerja, menjadi pegawai negeri yang mau melayani masyarakat, menjadi pegawai swasta yang taat pajak, menjadi aktivis LSM yang tulus memperjuangkan rakyat, menjadi insan pers yang kritis, konstruktif, dan tanggung jawab, menjadi oposan yang ikhlas atau bahkan menjadi pengengguran yang santun adalah posisi dalam ruang publik yang terbuka lebar pasca Orde Baru demi tercapainya cita-cita mulia.
Ini saatnya menyikapi perjuangan dengan lebih cerdas. Bukan sekedar demonstrasi, teriak dan bakar-bakar ban yang anarki, karena demonstrasi nyata-nyata adalah perjuangan yang kontekstual. Disadari atau tidak, masih ada pihak-pihak yang terus menginginkan Indonesia yang penuh dengan kerusuhan dan terpecah belah. Sebagai pencinta dan loyalis bangsa ini, kita harus lebih waspada untuk menghindari berulangnya sejarah kelam Indonesia.